“ Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan “

BAB I

PENDAHULUAN

 1.1   Latar Belakang

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa di masa yang akan datang, yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara seimbang.

Fakta-fakta sosial yang belakangan ini terjadi dalam kehidupan bermasyarakat adalah permasalahan yang terkait anak, dimana dalam kehidupan sosial yang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor tersebut kita dihadapkan lagi dengan permasalahan penanganan anak yang diduga melakukan tindak pidana.

Peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan hak terhadap anak antara lain : Undang-undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana secara substansinya Undang-Undang tersebut mengatur hak-hak anak yang berupa, hak hidup, hak atas nama, hak pendidikan, hak kesehatan dasar, hak untuk beribadah menurut agamanya, hak berekspresi, berpikir, bermain, berkreasi, beristirahat, bergaul dan hak jaminan sosial.

Anak yang berhadapan dengan hukum akan sangat terkait dengan aturan hukum yang mengaturnya, dimana pada awalnya aturan yang berlaku di Indonesia saat ini tidak dapat terlepas dari instrumen internasional (Konvensi Internasional) yaitu terkait dengan pemenuhan hak-hak anak sendiri. Setelah dilakukannya ratifikasi atas Konvensi Hak-Hak Anak oleh Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Keppres Nomor 36 Tahun 1990, maka secara hukum menimbulkan kewajiban kepada Indonesia (negara peserta) untuk mengimplementasikan hak-hak anak tersebut dengan menyerapnya ke dalam hukum nasional, dimana dalam hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan[1]. Berkenaan dengan istilah sistem peradilan pidana atau criminal justice system tidak terpisah dari istilah sistem yang digambarkan oleh Davies et.al sebagai “the word system conveys an impression of a complec to end” artinya bahwa kata system menunjukkan adanya suatu kesan dari objek yang komplek lainnya dan berjalan dari awal sampai akhir, oleh karena itu dalam mewujudkan tujuan sistem tersebut ada empat instansi yang terkait yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat komponen tersebut harus bekerja sama secara terpadu (Integrated Criminal Justice Administration). Berproses secara terpadu artinya bahwa keempat sub sistem ini bekerja sama berhubungan walaupun masing-masing berdiri sendiri. Polisi selaku penyidik melakukan penyidikan termasuk penyelidikan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan berdasarkan hasil penyidikan yang disampaikan oleh penyidik. Hakim atas dasar dakwaan penuntut umum melakukan pemeriksaan dalam sidang pengadilan.

Seperti halnya orang dewasa, anak sebagai pelaku tindak pidana juga akan mengalami proses hukum yang identik dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana, arti kata identik disini mengandung arti ”hampir sama”, yang berbeda hanya lama serta cara penanganannya.

Menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Menurut Retnowulan Sutianto perlindungan anak merupakan suatu bidang Pembangunan Nasional, melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat Pembangunan Nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan nasional[2]. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan.

Proses penanganan anak yang berhadapan dengan hukum erat kaitannya dengan penegakan hukum itu sendiri, dimana dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (juvenile justice system). Menurut Barda Nawawi Arief, Sistem Peradilan Pidana  pada hakikatnya merupakan ”sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana” yang diwujudkan dalam 4 (empat) subsistem yaitu[3]:

  1. Kekuasaan ”Penyidikan” (oleh Badan/Lembaga Penyidik);
  2. Kekuasaan ”Penuntutan” (oleh Badan/Lembaga Penuntut Umum);
    1. Kekuasaan ”Mengadili dan Menjatuhkan putusan/pidana” (oleh Badan Pengadilan);
    2. Kekuasaan ”Pelaksanaan Putusan Pidana” (oleh Badan/Aparat Pelaksana/Eksekusi).

Keempat institusi pilar sistem peradilan pidana anak telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri sebagai landasan yuridis bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan kewenangannya.

Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya. Perlindungan terhadap anak sudah diatur dalam ketentuan hukum mengenai anak. Khususnya bagi anak yang melakukan tindak pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Bahwa Undang-undang No. 11 Tahun 2012 dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 memberikan pembedaan perlakuan dan perlindungan terhadap pelaksanaan hak-hak dan kewajiban anak, khususnya anak sebagai tersangka dalam proses peradilan pidana, yaitu meliputi seluruh prosedur acara pidana, mulai dari penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana.

Dalam proses tahapan penyidikan anak nakal, tidak hanya sekedar mencari bukti serta penyebab kejadian, tetapi juga diharapkan dapat mengetahui latar belakang kehidupan anak tersebut sebagai pertimbangan dalam menentukan tuntutan terhadap tersangka.

1.2   Rumusan Masalah

Berdasarkan pada uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka masalah yang dapat dirumuskan adalah bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak pada tahap penyidikan?

 

BAB II

PEMBAHASAN

2.1   Pengertian Anak

Apabila ditinjau dari aspek yuridis, maka pengertian “anak” dimata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjaring atau person under age), orang yang di bawah umur atau keadaan di bawah umur (minderjaringheid atau inferionity) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige onvervoodij).[4]

Pada tingkat Internasional rupanya tidak terdapat keseragaman dalam perumusan batasan tentang anak, tingkatan umur seseorang dikategorikan sebagai anak antara satu negara dengan negara lain cukup beraneka ragam yaitu :

Dua puluh tujuh negara bagian di Amerika Serikat menentukan batasan umur antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8-16. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, dikebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negeri Belanda menentukan batas umur antara 12-18 tahun. Negara Asia antara lain : Srilanka menentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran 6-18 tahun, Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-18 tahun, Kamboja menentukan antara 15-18 tahun sedangkan Negara Asean antara lain Filipina menentukan batasan umur antara 7-16 tahun.[5]

Maka bertitik tolak dari aspek tersebut ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak, hal tersebut dapat dilihat dalam berbagai peraturan ataupun hukum yang berlaku, yaitu :

  1. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak  

Pada Pasal 1 (3) merumuskan, bahwa anak adalah anak yang telah berumur 12

(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Jadi anak dibatasi syarat dengan umur antara 12 tahun sampai 18 tahun.

  1. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak ( Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak )

Pada Pasal 1 (1) merumuskan bahwa anak adalah seseorang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

  1. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Pada Pasal 1 angka (2) merumuskan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. Batasan umur ini juga digunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta Perdata, tetapi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengenal istilah anak, yang digunakan istilah dewasa yaitu telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun akan tetapi sudah atau pernah kawin, sedangkan belum dewasa adalah seseorang yang umurnya belum mencapai 21 tahun dan tidak atau belum pernah kawin.

  1. Dalam Hukum Perburuhan

Pada Pasal 1 (1) Undang-undang Pokok Perburuhan ( Undang-undang No.12 Tahun 1948 ) memberikan pengertian anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 tahun kebawah.

  1. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP )

Pasal 45 KUHP, memberikan definisi anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 ( enam belas ) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam perkara pidana maka hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah tersebut dikembalikan kepada orang tuanya; walinya ataupun pemeliharanya dengan tidak dikenakan hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Ketentuan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP ini sudah dihapus dengan lahirnya Undang-undang No.3 Tahun 1997.

  1. Anak menurut Undang-undang Perkawinan ( Undang-undang No.1 Tahun 1974 )

Pada Pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) undang-undang Pokok Perkawinan memberikan batasan-batasan untuk disebut anak adalah belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUH Perdata )

Pada Pasal 330 KUH Perdata memeberikan penjelasan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

  1. Menurut Hukum Adat Indonesia

Dalam hukum adat Indonesia maka batasan untuk disebut anak bersifat pluralistic. Dalam artian kreteria untuk menyebut seseorang tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya. Misalnya : telah “ kuat gawe“, “ akil baliq ”, “ menek bajang ”, dan lain sebagainya.

Menurut Pasal 1 Konvensi Anak merumuskan pengertian anak sebagai “setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal”.[6]

Berbagai kriteria untuk batasan usia anak pada dasarnya adalah pengelompokan usia maksimum sebagai perwujudan kemampuan seorang anak dalam status hukum sehingga anak tersebut akan beralih status menjadi usia dewasa atau menjadiseorang subyek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindaka hukum yang dilakukan oleh anak itu.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwa indikator untuk mengatakan bahwa seseorang telah dikatakan telah dewasa adalah bahwa ia dapat melakukan perbuatan hukum sendiri tanpa bantuan orang lain baik orang tua maupun wali.  Berdasarkan penjelasan-penjelasan beberapa peraturan perundang-undangan diatas, maka dapat dilihat bahwa pengertian anak adalah bervariatif dimana hal tersebut dilihat dari pembatasan batas umur yang diberikan kepada seorang anak apakah anak tersebut dibawah umur atau belum dewasa dan hal tersebut dapat dilihat dari pengertian masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Namun meskipun demikian pada prinsipnya anak dibawah umur adalah seseorang yang tumbuh dalam perkembangannya yang mana anak tersebut memerlukan bimbingan untuk kedepannya.

2.2   Pengertian Anak Yang Bermasalah Dengan Hukum

Pasal 1 (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana yaitu :

1) Yang diduga, disangka, didakwa, atau dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana;

2) Yang menjadi korban tindak pidana atau yang melihat dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana.[7]

Anak yang berhadapan dengan hukum dapat juga dikatakan sebagai anak yang terpaksa berkontak dengan sistem pengadilan pidana karena:

1)    Disangka, didakwa, atau dinyatakan terbukti bersalah melanggar hukum; atau

2)    Telah menjadi korban akibat perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan orang/kelompok orang/lembaga/negara terhadapnya; atau

3)    Telah melihat, mendengar, merasakan, atau mengetahui suatu peristiwa pelanggaran hukum.

Dilihat ruang lingkupnya maka anak yang berhadapan dengan hukum dapat dibagi menjadi :

1)    Pelaku atau tersangka tindak pidana;

2)    Korban tindak pidana;

3)    Saksi suatu tindak pidana.

Kenakalan anak disebut juga dengan Juvenile Deliquency. Juvenile atau yang (dalam bahasa Inggris) dalam bahasa Indonesia berarti anak-anak; anak muda, sedangkan Deliquency artinya terabaikan atau mengabaikan yang kemudian diperluas menjadi jahat, kriminal, pelanggar peraturan dan lain-lain. Kamus Besar Bahasa Indonesia, delikuensi diartikan sebagai tingkah laku yang menyalahi secara ringan norma dan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat.[8]

Perbuatan dikatakan delinkuen apabila perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang ada dalam masyarakat dimana ia hidup atau suatu perbuatan yang anti sosial yang didalamnya terkandung unsur-unsur anti normatif.[9]

Pengertian Juvenile Deliquency menurut Kartini Kartono adalah sebagai berikut : Juvenile Deliquency yaitu perilaku jahat / dursila, atau kejahatan / kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang.[10]

Menurut Romli Atmasasmita Juvenile Deliquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.[11]

Menurut Paul Mudikdo memberikan perumusan mengenai Juvenile Delinquency, sebagai :

  1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan lain sebagainya;
  2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat;
  3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.[12]

Di Amerika Serikat perbuatan yang dilakukan anak-anak dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang dewasa dibedakan pengertiannya. Suatu perbuatan tindakan anti sosial yang melanggar hukum pidana, kesusilaan dan ketertiban umum bila dilakukan oleh seseorang yang berusia diatas 21 tahun disebut dengan kejahatan (crime), namun jika yang melakukan perbuatan tersebut adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun maka disebut dengan kenakalan (Deliquency).

2.3     Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan

  1. 1.  Penyidik Anak

Perkara pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya ketentuan yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri. Sejalan akan diberlakukannya dengan diberlakukannya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar hukum Pasal 26 ayat (1) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan yang pada intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak nakal. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal adanya penyidik anak, yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak melalui Pasal 26 Ayat (3) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Penyidik adalah :

  1. Telah berpengalaman sebagai penyidik;
  2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
  3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak

Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.

  1. 2.    Proses Penyidikan Anak

Kekuasaan Penyidikan adalah tahap yang paling menentukan dalam operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dandiadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu tahapan penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan.

Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya[13], sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP.

Tindakan yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melakukan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara, melimpahan perkara. Penyidikan yang diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus dipandang sebagaimana layaknya status dan fungsi seorang penyidik menurut KUHAP. Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya.

Penyidikan terhadap anak tersebut haruslah dalam suasana kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa :

Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.

Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan (Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012). Kentuan ini menghendaki bahwa pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik. Efektif dapat diartikan, bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu lama, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, dan dapat mengajak tersangka memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Simpatik maksudnya pada waktu pemeriksaan, penyidik bersikap sopan dan ramah serta tidak menakut-nakuti tersangka. Tujuannya adalah agar pemeriksan berjalan dengan lancar, karena seorang anak yang merasa takut sewaktu menghadapi penyidik, akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan keterangan yang benar dan sejelas-jelasnya. Pada waktu pemeriksaan tersangka, penyidik tidak memakai pakaian seragam.

Ketentuan Pasal 18 ini, mencerminkan perlindungan hukum pada anak, apabila penyidik tidak melakukan pemeriksaan dalam suasana kekeluargaan, tidak ada sanksi hukum yang dapat dikenakan kepadanya. Dalam melakukan penyidikan anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya (Pasal 27 ayat 1 dan 2 UU No. 11 Tahun 2012). Laporan penelitian kemasyarakatan, dipergunakan oleh penyidik anak sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan penyidikan, mengingat bahwa anak nakal perlu mendapat perlakuan sebaik mungkin dan penelitian terhadap anak dilakukan secara seksama oleh peneliti kemasyarakatan (Bapas), agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar.

Pasal 27 ayat 1 UU No. 11 tahun 2012, menentukan bahwa dalam melakukan penyidikan anak nakal, penyidik dibantu pembimbing kemasyarakatan. Pasal 65 ayat 1 huruf b UU No. 11 Tahun 2012, menentukan bahwa pembimbing kemasyarakatan bertugas membantu memperlancar penyidikan dengan membuat laporan penelitian kemasyarakatan.

Proses penyidikan anak nakal, wajib dirahasiakan ( Pasal 19 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2012). Tindakan penyidik berupa penangkapan, penahanan, dan tindakan lain yang dilakukan mulai dari tahap penyelidikan hingga tahap penyidikan, wajib dilakukan secara rahasia.

Perkara anak dapat diajukan ke sidang pengadilan sesuai Pasal 20 UU No. 11 Tahun 2012 adalah perkara anak yang berumur 12 tahun dan belum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Namun pasal 24 UU No.11 tahun 2012, masih memungkinkan dilakukan penyidikan anak yang berumur dibawah 12 tahun, namun berkas perkaranya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan di persidangan. Tujuan dilakukan penyidikan terhadap anak yang belum berumur 12 tahun yang diduga melakukan tindak pidana adalah untuk mengetahui bahwa anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana seorang diri atau ada orang lain yang terlibat atau anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang lain atau Tentara Nasional Indonesia (TNI), dalam hal ini yang berumur 12 tahun keatas dan atau dengan orang dewasa atau TNI.

Bertolak dari hal tersebut maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tersebut seorang penyidik tidak memakai seragam atau dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik.

Penyidikan merupakan kompensasi penyidik, termasuk menghentikannya (Pasal 109 ayat 2 KUHAP). Alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan ada dua yaitu ;

  1. Untuk menegakan prinsip penegakan hokum yang cepat, tepat, dan biaya ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penidik berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka ke pengadilan, penyidik secara rmenyatakan penghentianpemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hokum, baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat;
  2. Supaya penyidik terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut atau menghukum, dengan sendirinya member hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 95 KUHAP.

Dalam praktik, alasan penghentian penyidikan adalah :

  1. Delik yang terjadi merupakan delik aduan yang dapat dilakukan pencabutan; perbuatan yang terjadi bukan merupakan perbuatan pidana;
  2. Anak masih sekolah dan masih dapat dibina orang tuanya, sehingga anak tersebut dikembalikan kembali kepada orang tuanya dan kasusnya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.

Penghentian penyidikan juga dilakukan apabila ada perdamaian antara pihak anak nakal dengan korban. Hal ini merupakan penyimpangan, karena perdamaian tidak dikenal dalam perkara pidana. Seyogyanya penghentian penyidikan dilakukan atas pertimbangan kepentingan anak, terlepas dari ada perdamaian atau tidak. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, disertai petunjuk untuk dilengkapi. Setelah penyidik menerima berkas perkara tersebut, penyidik wajib melakukan penyidikan tambahan dan dalam tempo 14 hari setelah pengembalian berkas perkara dari penuntut umum, penyidik sudah menyiapkan pemeriksaan penyidikan tambahan ( disempurnakan) dan diserahkan lagi kepada penuntut umum ( Pasal 110 ayat 1 KUHAP )

Penyidikan dianggap selesai dan lengkap, apabila telah ada pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap atau apabila tanggapan waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak menyampaikan pernyataan apa-apa dan tidak pula mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik. Terhitung sejak tenggang waktu tersebut, dengan sendirinya menurut hokum penyerahan berkas perkara sudah sah dan sempurna, beralih kepada penuntut umum tanpa memerlukan proses lagi. Terjadi penyerahan tanggung jawab hukum atas seluruh perkara yang bersangkutan dari penyidik kepada penuntut umum. Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara, tanggung jawab hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala barang bukti atau benda yang disita.

Secara garis besarnya tugas-tugas penyidikan terdiri dari tugas menjalankan operasi lapangan dan tugas administrasi hukum. Menurut Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat tugas-tugas penyidik yang berhubungan dengan tugas yang meliputi :`

a)  Penangkapan

Mengenai tindakan penangkapan diatur dalam ketentuan-ketentuan KUHAP.  Berdasarkan pasal 16 KUHAP dapat diketahui bahwa tujuan penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan penyelidikan dan kepentingan penyidikan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Pelaksana tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Negara RI, dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat–surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka. Menyatakan alasan penangkapan, dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan,serta mengemukakan tempat tersangka diperiksa (Pasal 18 KUHAP).

Pengertian penangkapan menurut KUHAP Pasal 1 butir (20) :

“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Ketentuan hukum acara pidana yang menjadi sorotan essential dari proses penyidikan adalah penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, dimana tugas penangkapan berbatasan dengan ketentuan hukum yang menegakkan hak-hak asasi anak yang mendapatkan tuntutan keadilan hukum terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah (lembaga polisi). Ketentuan terhadap dasar perlindungan anak harus dapat menonjolkan bentuk-bentuk tindakan dan upaya rasional dan berdimensi rasa keadilan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Wewenang penangkapan dan penahanan terhadap anak menurut Pasal 30 Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa kegiatan yang berhubungan dengan penangkapan dan penahanan mengikuti ketentuan Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penangkapan dan penahanan terhadap anak pelaku kejahatan atau anak nakal pada tahap penyidikan diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 33 Undang-undang Nomor 11 Tahun  2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa : Penangkapan anak nakal sama seperti penangkapan terhadap orang dewasa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 19 dan penangkapan tersebut dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 ( satu ) hari.

Wewenang penangkapan dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum harus pula memperhatikan asas hukum pidana yaitu : Presumsion Of Innocence ( Asas Praduga Tak Bersalah). Dalam melakukan penangkapan diperhatikan hak-hak anak sebagai tersangka, seperti hak mendapat bantuan hukum pada setiap tigkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 54 KUHAP). KUHAP tidak mengatur secara tegas bukti cukup atau tidak. Hal ini tidak mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak, karena itu perlu diatur secara tegas dalam KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak.

Kedudukan anak dalam proses pemeriksaan penyidikan terdapat nuansa yang menimbulkan hak-hak anak secara khusus yang dapat mengesampingkan upaya paksa dan tindakan paksa dari proses penyidikan. Kontak awal antara anak dan polisi harus dihindarkan dalam suasana kekerasan fisik dan psikis sehingga dalam proses penyidikan terdapat hak-hak anak yang meliputi :

  1. Terhadap keluarga anak sebagai tersangka wajib diberitahukan terlebih dahulu baik melalui surat maupun lisan sebelum proses penangkapan dilakukan
  2. Penangkapan terhadap anak tidak dibolehkan dengan menggunakan alat atau senjata upaya paksa atau wewenang paksa
  3. Tersangka anak haru segera mendapat bantuan hukum secara wajib dan Cuma-cuma (dalam penangkapan penyidik penuntut umum harus mengikutsertakan seorang pengacara yang kelak akan menjadi penasehat hukum anak tersebut)
  4. Tersangka anak atau orang belum dewasa harus segera mendapatkan proses pemeriksaan
  5. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian sebagai akibat dari kesalahan.[14]

b) Penahanan

Setelah tindakan penangkapan, dapat dilakukan tindakan penahanan. Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Berdasarkan wewenang tersebut maka setiap instansi penegak hukum memiliki wewenang untuk melakukan penahanan.

Penahanan oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau hakim anak dengan penetapan, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang No.11 tahun 2012 dan KUHAP, menentukan bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Karena ada istilah “dapat” ditahan, berarti penahanan anak tidak selalu harus dilakukan, sehingga dalam hal ini penyidik diharap betul-betul mempertimbangkan apabila melakukan penahanan anak. Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, alasan penahanan adalah karena ada kehawatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan barang bukti, agar tidak mengulangi tindak pidana. Menurut hukum acara pidana, menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan keharusan, tetapi untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum, kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan.

Penahanan Anak harus memperhatikan kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, maupun sosial anak serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat misalnya dengan ditahannya anak akan membuat masyarakat aman dan tentram.

Pasal 33 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 menentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan anak yang diduga keras melakukan tindak pidana (kenakalan) berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dasar diperkenankan suatu penahanan anak, adalah adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup, bahwa anak melakukan tindak pidana (kenakalan). Pasal 32 ayat 2 huruf a dan b UU No. 11 Tahun 2012 menegaskan bahwa Penahanan dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana berusia 14 tahun ke atas dan diancam pidana penjara 7 tahun keatas yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini, muncul persoalan dalam menentukan “diduga keras” dan “bukti permulaan,” sebab bisa saja penyidik salah duga atau menduga-duga saja, hal ini tidak mencerminkan perlindungan anak. Anak dapat menjadi korban ketidak cermatan atau ketidak telitian penyidik. Menentukan bukti yang cukup sebagai bukti permulaan, dalam KUHAP tidak diatur dengan tegas, hal ini tidak mencerminkan perlindungan anak. Bisa saja menurut penyidik bukti permulaan telah cukup, padahal hakim dalam pra-peradilan (apabila diajukan pra-peradilan oleh anak nakal/penasehat hukumnya) memutuskan bahwa penahanan tidak sah, anak sudah dirugikan terutama dari segi mental, anak merasa tertekan dan trauma atas pengalaman-pengalaman tersebut. Menjamin agar ketentuan mengenai dasar penahanan ini diindahkan, diadakan institusi pengawasan yang dilakukan oleh atasan di instansi masing-masing, yang merupakan “built in control” maupun pengawasan sebagai sistem “checking” antara penegak hukum.

Terkait dengan penahanan, penahanan tahap pertama terhadap anak berbeda dengan penahanan terhadap orang dewasa yaitu dilakukan hanya berlaku paling lama 7 (tujuh) hari dan apabila belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 8 (delapan) hari.

Dalam waktu 15 (lima belas hari), Polri sebagai penyidik tindak pidana sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum, apabila jangka waktu tersebut dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Perbedaan antara penahanan terhadap anak dengan penahanan orang dewasa terletak di jangka waktu penahanan dan perpanjangan penahanan apabila proses penyidikan belum selesai. Penahanan tahap pertama bagi orang dewasa 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari. Disamping itu penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak yakni lembaga penempatan anak sementara (LPAS) atau lembaga Penyelenggaraan kesejahteraan social (LPKS) apabila belum terdapat LPAS.

Penahanan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. Penyididk yang melakukan tindakan penahanan, harus terlebih dahulu mempertimbangkan dengan matang akibat dari tindakan penahanan, dari segi kepentingan anak, seperti pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental maupun sosial.

Selain itu dipertimbangkan dengan matang kepentingan masyarakat, misalnya dengan ditahannya tersangka masyarakat menjadi aman dan tentram. Hal ini sulit didalam penerapannya, sebab dalam mempertimbangkan kepentingan yang dilindungi dengan melakukan penahanan, tidak mudah dan menyulitkan pihak penyidik yang melakukan tindakan penahanan. Dalam tindakan penahanan, penyidik seharusnya melibatkan pihak yang berkompeten, seperti pembimbing kemasyarakatan, psikolog, kriminolog, dan ahli lain yang diperlukan, sehingga penyidik anak tidak salah mengambil keputusan dalam melakukan penahanan.

Pasal 32 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 menentukan bahwa alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat printah penahanan. Pelanggaran atau kelalaian atas Pasal Pasal 32 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012, tidak diatur dengan tegas akibat hukumnya, sehingga dapat merugikan anak. Penahanan anak, didasarkan atas pertimbangan kepentingan anak dan kepentingan masyarakat yang harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Keharusan ini tidak ada akibat hukumnya, manakala pejabat yang berwenang melakukan penahanan. Sanksi yang dapat diberikan terhadap penyidik anak tidak diatur atau akibat hukum dari tindakan penahanan tersebut tidak jelas. Perkembangan hukum dibidang pengadilan anak ini semakin menunjukkan kelemahan KUHAP, terutama menyangkut pra-peradilan.

Dalam prakteknya, dasar pertimbangan dilakukan penahanan anak belum dipahami pihak kepolisian secara tepat. Mereka masih menganggap bahwa dasar pertimbangan dilakukan menahan anak, adalah karena anak melakukan tindak pidanya yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dikhawatirkan melarikan diri, merusak bukti atau mengulangi tindak pidana. Bila dipahami secara mendalam, dapat diketahui bahwa dasar pertimbangan penahanan anak menurut Pasal 32 ayat (2) UU No. 11 tahun 2012 adalah Penahanan dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana berusia 14 tahun ke atas dan diancam pidana penjara 7 tahun keatas yang ditentukan oleh undang-undang. Jika kepentingan anak menghendaki dilakukan penahanan, maka anak tersebut ditahan. Tetapi apabila kepentingan anak tidak menghendaki, walaupun anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih, maka tidak dilakukan penahanan. Kepentingan anak dalam hal ini, ialah dipertimbangkannya pengaruh penahanan terhadap perkembangan fisik, mental, dan sosial anak, maka penahanan anak tidak dilakukan. Penahanan dilakukan sebagai upaya terakhir/tindakan terakhir dan dalam jangka waktu singkat. Mempertimbangkan kepentingan anak, dilibatkan balai pemasyarakatan yang melakukan penelitian kemasyarakatan terhadap anak nakal, dapat juga dilibatkan ahli-ahli seperti kriminolog, psikolog, pemuka agama (rohaniawan) dan lain-lain.

Tempat penahanan anak, harus dipisah dari tempat penahanan orang dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi (Pasal 33 ayat 4 dan ayat 5 UU No.11 Tahun 2012). Penahanan anak ditempatkan lembaga penempatan anak sementara (LPAS) atau lembaga Penyelenggaraan kesejahteraan social (LPKS) apabila belum terdapat LPAS, tempatnya terpisah dari narapidana anak. Hal ini dilatar belakangi oleh pertimbangan psikologis, untuk menghindari akibat negatif sebab anak yang ditahan belum tentu terbukti melakukan kenakalan, bergaul dengan narapidana anak, dikhawatirkan dapat menularkan pengalaman-pengalamannya kepada anak yang berstatus tahanan, dan mempengaruhi perkembangan mentalnya. Dalam praktek, diketahui bahwa tahanan anak digabung dengan orang dewasa, dengan alasan bahwa tempat penahanan di lembaga pemasyarakatan orang dewasa belum penuh. Hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Narapidana anak dan tahanan anak, berpengaruh dengan sikap dan tindakan tahanan dewasa. Anak bisa saja mengetahui pengalaman-pengalaman melakukan kejahatan yang belum pernah didengar dan dilakukannya, atau bahkan anak dapat menjadi korban pelecehan seksual selama berada dalam tahanan tersebut.

BAB III

PENUTUP

 

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembahasan seperti yang telah diuraikan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan dan saran sebagai berikut:

3.1   Kesimpulan

Dalam menghadapi dan menangani proses peradilan anak yang terlibat tindak pidana, maka hal yang pertama yang tidak boleh dilupakan adalah melihat kedudukannya sebagai anak dengan semua sifat dan ciri-cirinya yang khusus, dengan demikian orientasi adalah bertolak dari konsep perlindungan terhadap anak dalam proses penangannya sehingga hal ini akan berpijak pada konsep kejahteraan anak dan kepentingan anak tersebut. Penanganan anak dalam proses hukumnya memerlukan pendekatan, pelayanan, perlakuan, perawatan serta perlindungan yang khusus bagi anak dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.

Secara garis besarnya tugas-tugas penyidikan terdiri dari tugas menjalankan operasi lapangan dan tugas administrasi hukum. Menurut Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak , terdapat tugas-tugas penyidik yang berhubungan dengan tugas yang meliputi proses penangkapan dan penahanan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana.

Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya.

3.2   Saran

Hendaknya dasar legetimasi mengenai adanya pengaturan tindakan lain yang dapat dilakukan oleh penyidik agar tidak melakukan penahanan dapat digunakan oleh penyidik dalam setiap proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum agar proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan prinsip peradilan anak tersebut berjalan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.

 

 DAFTAR PUSTAKA

 

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, Sinar Grafika, 2006, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006.

Atmasasmita, Romli, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, 1983, Bandung.

………………………, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, 1997, Bandung.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991,  Jakarta.

Gautama, Chandra, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers Dan Pembangunan (LSPP), 2000, Jakarta.

Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya, PT.Aditya Bakti, 1997, Bandung.

Kadja, Thelma Selly M, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan, Jurnal Hukum Yurisprudensia, No.2 Mei 2000, hal.184

Kartono , Kartini, Pathologi Sosial (2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, 1992, Jakarta.

Mulyadi, Lilik, Pengadilan Anak Di Indonesia, CV.Mandar Maju, 2005, Bandung.

Reksodiputro , Mardjono, Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia), 1997, Jakarta.

Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, 1991,Jakarta.

Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, 2007, Jakarta.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


[1] Mardjono Reksodiputro, Kriminlogi dan Sistem Peradilan Pidana, (Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia), 1997, Jakarta, hal. 84

[2] Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, 1997, Bandung, hal. 166

[3] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006, Semarang, hal. 20.

[4] Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak Di Indonesia, CV.Mandar Maju, 2005, Bandung, hal.

[5] Paulus Hadisuprapto, Juvenile Deliquency Pemahaman Dan Penanggulangannya, PT.Aditya Bakti, 1997, Bandung, hal.8

[6] Chandra Gautama, Konvensi Hak Anak Panduan Bagi Jurnalis, Lembaga Studi Pers Dan Pembangunan (LSPP), 2000, Jakarta, hal.21

[7] Ketentuan dalam Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial Republik Indonesia, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik ImageIndonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum Tanggal 15 Desember 2009. Pasal 1 Butir 3.

[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991,  Jakarta, hal. 219.

[9]  Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, 1991,Jakarta, hal. 10.

[10] Kartini Kartono, Pathologi Sosial( 2), Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, 1992,Jakarta, hal. 7.

[11] Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, 1983,Bandung, hal. 40.

[12] Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, 2007, Jakarta, hal.9.

[13] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet.5, Sinar Grafika, 2006, Jakarta, hal.118.

[14] Kadja, Thelma Selly M, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan, Jurnal Hukum Yurisprudensia, No.2 Mei 2000, hal.184

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment